Jumat, 07 Januari 2011

Mentawai: Taman Surga yang sedang Resah

Pendahuluan
     Kepulauan Mentawai yang indah terletak di sebelah barat pulau Sumatra. Kepulauan yang terdiri atas Pulau Siberut di Utara, Pulau Sipora di bagian tengah, dan Pulau Pageh di bagian Selatan memiliki luas permukaan sekitar 65.255 km2.
 
 
     Pada tahun 1821, Thomas Raffles yang lebih dikenal sebagai “Father of Singapore”, menyebut Kepulauan Mentawai sebagai “the garden of Eden” yang berarti taman surga. Bagaimana tidak, kepulauan ini diliputi oleh hutan tropis yang dilintasi oleh sungai-sungai berair jernih. Hutan sekaligus rumah bagi tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan unik yang belum tentu dapat ditemukan di belahan bumi lainnya seperti: beyuk (kera besar) dan lutung (kera berbulu hitam).
 
Kehidupan Sosial dan Budaya
     Kepulauan Mentawai dihuni oleh sekitar 60.000 populasi yang sebagian besar merupakan masyarakat adat. Mereka tinggal dalam kebudayaan warisan leluhurnya. Masyarakat adat Mentawai mengetahui rahasia hidup secara harmonis dengan alam tanpa harus merusaknya, karena kebudayaan warisan leluhur mereka selaras dengan hukum alam.
 
     Walaupun orang-orang Mentawai terisolasi secara sosial dan ekonomi, mereka tidak berperilaku seperti halnya Barbarian (sebutan orang-orang barat terhadap kebudayaan diluar kebudayaan orang-orang barat). Orang-orang Mentawai lahir, hidup dan mati dalam kebebasan. Mereka termasuk orang-orang yang tenang; cinta dan memelihara perdamaian, sopan, mudah bergaul, ramah, dan senang menjamu tamu yang datang. Dibandingkan dengan kehidupan materealis di dunia modern yang penuh dengan curiga dan saling menjatuhkan, orang-orang Mentawai lebih bijak dalam menjalani kehidupan ini.
Terdapat keunikan dalam hal perhitungan waktu di Mentawai. Mereka tidak kenal waktu, tidak menghiraukan teknologi, dan kemodernan. Bagi masyarakat adat Mentawai perhitungan waktu dibagi ke dalam “siklus kehidupan”, yaitu:
  •  Lahir
  • Muda
  • Perkawinan
  • Sakit
  • Kematian
     Orang-orang Mentawai tidak memakai banyak pakaian, tubuh mereka dihias oleh tato-tato yang sarat dengan makna kehidupan. Tato yang dikenal dengan sebutan “titi”. Desain tato bervariasi tergantung pada suku dan desa mereka. Tato menandakan kekuatan, kejantanan/kecantikan, karakter, dan juga merepresentasikan pengalaman hidup masing-masing orang. “Pakaian” masyarakat adat Mentawai juga kaya dengan aksesoris pendukung seperti: kalung, gelang, bunga dan dedaunan sebagai penghias tubuh sesuai dengan keadaan alam mereka.
 
Mata Pencaharian
     Beberapa aspek kebudayaan tradisional di Mentawai menjadi saksi masa Neolitikum dan Austronesia kuno. Dalam kesehariannya, orang-orang Mentawai bermata pencaharian dengan cara berburu, memancing ikan, mencari bahan makanan yang disediakan oleh alam, buah-buahan, sagu, tepung yang diekstraksi dari batang pohon palem, dsb. Pembagian kerja ditentukan oleh jenis kelamin.
 
Arsitektur
     Rumah dalam bahasa orang Mentawai disebut “uma”. Uma berbentuk rumah panjang yang dibangun di atas tiang-tiang dan dibangun tanpa paku atau menggunakan teknik konstruksi tanggam sambungan atau ikatan. Pusat upacara di rumah ditandai dengan tiang siegge legeu, yang berdiri ke kanan arah pintu masuk ruangan dalam (1). Ada kepercayaan bahwa pahlawan pembela budaya tinggal di bawah tihang dan bila rumah disucikan pada saat penyelesaian, inilah tempat bakkat katsaila ditempelkan. Yang terakhir adalah jimat rumah utama, terdiri dari segumpal daun-daun suci yang mempunyai pengaruh “mendinginkan” rumah dan penghuninya.
 
     Dalam tata ruang, terdapat beranda yang beratap (2) yang berfungsi untuk kegiatan sehari-hari dan bersantai; ruang luar (3) untuk ruang makan bersama, pesta, dan dansa. Ruang dalam (4) yang merupakan tempat bagi para wanita mengadakan pertemuan keluarga dan sekaligus tempat para tamu wanita menginap di ruangan tersebut.
 
     Masing-masing rumah memiliki beranda yang luas yang digunakan untuk upacara dan menari. Satu uma mungkin dapat menjadi rumah bagi selusin keluarga karena luas.
 
Pola Hunian
     Tiap keluarga mempunyai hunian sendiri-sendiri yang disebut “sapou” terletak di dekat perkebunan mereka, dan di situ pula mereka hidup sehari-hari, datang bersama-sama ke uma untuk upacara dan berpesta. Pada waktu tersebut, kehidupan keluarga menjadi bagian dari kelompok secara keseluruhan.
 
     Rumah panjang Mentawai tidak berpatokan pada arah mata angin, uma dipercaya akan membawa kemakmuran bila mendapat persetujuan dari roh leluhur. Sebelum pembangunan uma dimulai, terlebih dahulu dilakukan upacara interaksi dengan alam sekitar, seperti: tempat dibersihkan, lalu memanggil burung tertentu, hewan tertentu, membaca cuaca dan iklim. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat tersebut sebagai hunian. Orang-orang Mentawai mampu membaca bahasa alam tersebut dengan baik.
 
Kepercayaan
     Pada dasarnya, orang-orang Mentawai menganut kepercayaan nenek moyang yang diturunkan secara turun temurun. Upacara adat utama disebut “Puliaidjar”, upacara pemanggilan roh leluhur dengan media pengorbanan hewan ternak seperti babidan ayam diikuti dengan sesajen, bunga, dan lonceng. Orang yang memimpin upacara ini disebut “kerei”. Kerei memulai upacara dengan menari melingkar, melompat-lompat ke udara, menangis meratap untuk memanggil leluhur.
 
Harmonisasi Kehidupan
     Orang-orang Mentawai memperlakukan alam dengan seimbang, dengan kondisi yang saling mendukung satu sama lain. Mereka percaya bahwa dengan melakukan tindakan yang merusak atau merugikan alam, maka akan merusak keharmonisan kehidupan di dunia.
 
     Sebagai contoh kearifan lokal yang terdapat pada suku mentawai adalah sebagai berikut: sebelum menebang pohon, menyembelih atau membunuh hewan untuk menjadi santapan atau sebelum mencangkul tanah, orang-orang disana melakukan beberapa upacara terlebih dahulu, upacara sebagai penjelasan dan permohonan terhadap alam bahwa tindakan mereka semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok. Sebuah interaksi metafisik antara manusia dengan alam yang berbahasa dengan caranya tersendiri. Orang-orang Mentawai melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran dan telah dilakukan sejak berabad-abad lamanya.
 
Pengaruh Eksternal dan Kehidupan Sosial Hari Ini
     Misionaris Katolik masuk ke daerah Mentawai pada tahun 1950-an dan sejak masuknya misionaris pula banyak orang-orang Mentawai masuk ke dalam agama Katolik. Walaupun demikian, dalam kehidupan keseharian mereka tetap menghargai upacara-upacara yang telah diwariskan oleh leluhur. Bagimana pun, setelah kedatangan pengaruh dari luar, maka upacara-upacara adat disana pun menjadi tercampur baur (terjadi proses akulturasi) antara kepercayaan local dengan kepercayaan baru.
 
     Seiring dengan pengaruh luar yang gencar melakukan pergerakan di Mentawai, seperti dengan membangun sekolah dasar untuk para generasi muda disana, maka terjadi sebuah perubahan budaya dan kepercayaan diri pada masing-masing generasi muda di Mentawai. Kebanggaan dan kehormatan tradisi nenek moyang tergerus oleh kekinian menjadi sebuah aib (rasa malu) yang melahirkan keminderan bahkan berangsur untuk dilupakan dan berganti haluan ke arah kehidupan modern yang belum tentu lebih baik dari tradisi nenek moyang mereka. Hal tersebut berakibat pada lahirnya generasi pseudo-modern yang di satu pihak tidak lagi mempercayai budaya adat istiadat nenek moyang dan di lain pihak mereka pun dilupakan oleh manusia lain di belahan dunia luar.
 
     Sekarang, dunia modern sedang mengalami kebimbangan dalam menentukan arah dan sedang berusaha berdamai dengan alam maupun berdamai dengan sesama. Di sisi lain, tradisi dan adat istiadat lokal Mentawai yang sangat mengerti tentang keharmonisan alam dan perdamaian tertinggal di belakang tergerus oleh peradaban konsumtif modern bahkan oleh generasi mudanya yang telah mendapat pengaruh dari luar. Kebudayaan Mentawai sedang berada di ujung jurang yang curam. Taman Surga kini sedang dalam bahaya.

1 komentar: