Jumat, 07 Januari 2011

Mentawai Si Cantik nan Eksotis


mentawai surfingSejumlah tempat tidur busa disimpan di uma atau rumah adat Mentawai di Butui, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Keberadaan barang buatan pabrik itu amat mencolok dibandingkan dengan isi uma lainnya, seperti tengkorak binatang dan peralatan memasak yang semuanya dibuat warga Mentawai.
“Tempat tidur itu untuk para turis. Mereka juga yang membelinya, juga barang lain seperti tas,” kata Aman Jazali, sikerei yang menghuni rumah adat tersebut. Sikerei adalah pemimpin upacara adat.
Menurut Jazali, hampir setiap minggu ada saja turis asing—biasanya dari Amerika dan Eropa—yang menginap 1-2 malam di uma. Ada dua daya tarik di situ: mengalami sendiri kehidupan suku Mentawai yang eksotis serta menikmati aliran Sungai Butui nan jernih serta dikelilingi pasir dan bebatuan putih di depan uma.
mentawai beach
Eksotisme ala Butui tersebut masih ditambah indahnya perjalanan untuk mencapainya, yaitu naik pompong—perahu kayu dengan mesin tempel—selama sekitar 4 jam dari Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan, menuju Desa Madobag. Dari Madobag, berjalan kaki sekitar 1,5 jam melalui hutan untuk menuju uma.
Sementara Muara Siberut dapat ditempuh dengan naik kapal motor selama 10-12 jam dari Padang, Sumatera Barat.
Eksotisme Mentawai
Kehadiran wisatawan asing ini membuat Jazali memperoleh pemasukan yang lumayan karena setiap rombongan biasa memberinya uang sebelum pergi. Selain itu, juga membuatnya mampu sedikit berbahasa Indonesia, Inggris, dan berhitung.
”Saat menginap di sini, pemandu wisata dan turis asing itu sering mengajari saya dan juga keluarga,” kata Jazali yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Sementara ketiga anaknya sekarang belajar di sekolah hutan yang dikelola seorang biarawan karena sekolah formal berada jauh dari umanya.
Kehadiran turis asing juga membuat sejumlah tempat di Mentawai ditumbuhi resor mewah, terutama di kawasan pantai yang memiliki ombak yang baik untuk selancar. Di resor-resor itu turis berduit menikmati eksotisme Mentawai yang terdiri dari 213 pulau sekaligus untuk berselancar.
Ombak di kepulauan Mentawai—oleh berbagai organisasi selancar—merupakan terbaik ketiga sejagat setelah Hawaii dan Tahiti.
Surf mentawai
Di Mentawai, selancar biasanya dilakukan di Pulau Nyangnyang, Karang Majat, Masilok, Botik, dan Mainuk. Puncak kunjungan wisatawan ada di bulan Juli dan Agustus. Saat itu ketinggian ombak di Mentawai mencapai 7 meter.
”Pulau yang cantik. Saya akan datang ke sini lagi,” kata Andrea, wisatawan dari Italia, tentang Mentawai yang dikunjunginya selama satu minggu.
Cagar biosfer
Selain cantik, Mentawai juga berperan penting bagi konservasi. Sejak tahun 1981, Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan Pulau Siberut di Mentawai sebagai salah satu cagar biosfer sehingga keberadaannya harus dilindungi dan dijauhkan dari eksploitasi.
Keeksotisan Siberut ditambah adanya empat primata endemik Mentawai, yaitu simakobu atau monyet ekor babi (Simias concolor), bilou atau siamang kerdil (Hylobates klosii), joja atau lutung mentawai (Presbytis potenziani), dan beruk mentawai (Macaca pagensis).
Untuk meneliti kekayaan primata Mentawai ini, Pusat Primata Universitas Gottingen, Jerman, bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor mendirikan Proyek Konservasi Siberut.
Terabaikan
Namun, berbagai keunggulan itu seolah belum mampu membuat negara untuk melihat Mentawai secara lebih serius. Fasilitas umum seperti kesehatan dan pendidikan di daerah kaya itu umumnya masih terbengkalai. Aliran listrik dan jalan amat terbatas.
”Dinas Pariwisata belum pernah datang ke sini. Jika ada wisatawan yang datang, ya sudah, kami tangani sendiri,” kata Sekretaris Desa Madobag Matheu Sabaggalek.
mentawai islandAkibatnya lebih jauh, warga tidak hanya belum memiliki panduan yang jelas untuk mengelola daerahnya. Sejumlah aset di daerah itu juga mulai dikelola orang asing, seperti resor mewah di sejumlah lokasi selancar. ”Tanah resor itu masih milik warga Mentawai. Namun, karena tidak tahu dan tidak memiliki modal untuk mengelolanya, lalu disewakan ke orang asing,” kata Matheu.
Matheu juga menceritakan, sudah ada turis Kanada yang menawarkan diri untuk memberikan modal menata air terjun Kulu Kubuk yang ada di daerahnya. ”Turis itu sudah menawarkan Rp 25 juta sebagai modal, dan pengelolaannya tetap diserahkan ke kami. Namun, warga yang punya tanah masih belum memperbolehkan,” kata Matheu.
Negara perlu mengatur jangan sampai kekayaan alam ini jatuh ke tangan asing, antara lain membekali kemampuan masyarakat setempat mengelola kawasan mereka. Jika tidak, kekayaan alam Mentawai nan cantik ini sangat mungkin diserahkan pengelolaannya ke tangan asing. Bila demikian, apa arti makna kehadiran negara Indonesia di Mentawai?
(Agnes Rita Sulistyawaty dan M Hernowo)
Sumber: Kompas.com
Foto foto:
pantai mentawai
pantai mentawai
pulau mentawai
pantaimentawai
pantai mentawai

Mentawai,Surga Di Barat Sumatera.

Salah satu Pantai Di Pulau Mentawai

Mentawai adalah sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang terletak di barat Pulau Sumatera,Indonesia.
Mentawai merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Barat.Penduduk Asli mentawai adalah Orang Mentawai.Bahasa yang digunakan oleh orang mentawai adalah bahasa mentawai
Pulau-Pulau besar yang banyak didiami penduduk di Mentawai adalah Pulau Sipora,Pagai Utara,Pagai selatan dan Siberut.
Ibukota Kabupaten Mentawai adalah Tua Pejat.
Luas kabupaten mentawai adalah 6011,35 Kilometer persegi.
Dengan jumlah penduduk 38.300 orang (tahun 2000).
rumah adat orang mentawai adalah uma
dengan kepala suku nya bergelar Sakerei.

Sejarah mentawai.
mengikuti teori pleistocene glaciation, Kepulauan Mentawai terpisah dari pulau Sumatera dikarenakan oleh kenaikan permukaan air laut.Orang mentawai diperkirakan telah ada disuatu pulau 200 dan 500 SM.Bermigrasi dari utara melalui Pulau Siberut kemudian bergerak keselatan menuju Sipora dan Pulau pagai.Austronesia bahasa,adat dan kebiasaan hidup sangat berbeda dengan Sumatera Barat sebagai propinsi induknya.
Pada awal abad ke 17 orang portugis membuat peta mentawai dengan nama 'Mintaon'peta tersebut dibuat tahun1606.
Pada Agustus tahun1792 seorang karyawan British East India Company,John Crisp mengunjungi Pagai (Poggy) untuk mempelajari orang mentawai.Tulisannya mengenai mentawai dimuat pada tahun 1799.John crisp adalah orang pertama yang mengenalkan mentawai pada sastra barat.
Pada tanggal 10 Juli 1864 menjadi bagian dari Hindia Belanda.

Orang Mentawai

Pariwisata.
Mentawai memiliki banyak pulau-pulau indah dengan ombaknya yang besar,yang sangat bagus untuk olahraga berselancar.
Pariwisata Mentawai mulai dikenal orang adalah pada pertengahan tahun 1990,yaitu secara tidak sengaja seorang perselancar dari Australia menemukan ombak yang bagus untuk berselancar.Sejak saat itulah Mentawai ramai dikunjungi oleh turis untuk berselancar.Kabarnya ombak di mentawai merupakan ombak terbagus ketiga didunia untuk berselancar.

Sekarang orang menjadikan mentawai sebagai daerah tujuan wisata,terutama untuk berselancar,juga untuk mengetahui lebih dalam kehidupan suku mentawai,melihat keindahan alam mentawai menyelidiki kehidupan hewan di mentawai dan lain-lain.

Di Mentawai sekarang telah banyak berdiri resort-resort yang dikelolah oleh orang asing,diantaranya adalah Kandui resort.
Disamping itu ekonomi masyarakat di mentawai juga tumbuh dengan menyediakan Home stay pada tempat-tempat wisata.

Mentawai...........menuju Bali ke 2

Tato Sebagai KTP Masyarakat Mentawai

TATO
budaya tato di Mentawai/ant.file

Keanekaragaman budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke merupakan aset yang tidak ternilai harganya, sehingga harus tetap dipertahankan dan terus dilestarikan. Tetapi, sayangnya, sebagai anak bangsa masih banyak yang tidak mengetahui ragam budaya daerah lain di Indonesia, salah satunya budaya tato di Mentawai, Sumatra Barat.
Bagi penyuka traveling ke berbagai daerah di Indonesia, khususnya yang rasa ingintahunya cukup tinggi terhadap beragam budaya, tidak ada salahnya mampir ke Mentawai untuk melihat dari dekat budaya tato yang sudah menjadi kebudayaan masyarakat setempat, selain menikmati sajian pesona alam dan lautnya. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.
Di Indonesia, jenis tato tertua adalah tato yang dimiliki oleh suku Mentawai, tato tersebut bersifat dan biasanya hanya berbentuk huruf. Bagi kalangan pelaku kriminal, tato adalah penanda. Seperti sebagian orang yang lain, mereka memanfaatkan tato untuk menunjukkan identitas kelompok. Tapi, ada juga tato yang memiliki sejarah sebagai alat ritual.
Menurut catatan sejarah, orang Mentawai sudah menato badan sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM.
Di Mentawai, tato dikenal dengan istilah titi. Dalam penelitian Ady Rosa, selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika,  suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Sumatera Barat.
Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya.
Tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat itu, benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya.
Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, Arat Sabulungan. Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse.
Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua memanggil sikerei dan rimata
(kepala suku).
Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti seniman tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan  masyarakat, seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki. Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punen enegat, alias upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti).
Tubuh bocah yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa.
Janji Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal lengan. Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola durukat di dada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung.
Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru.
Di Indonesia, tato orang mentawai lebih demokratis dibandingkan pada masyarakat dayak yang lebih cenderung menunjukkan status kekayaan seseorang makin bertato, makin kaya. Dalam  keyakinan masyarakat Dayak, contohnya bagi Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur.

Tradisi Tato Mentawai: Dihancurkan Secara Sistematis

    
     Suatu hari di bulan Februari 2009. Perlahan matahari yang bulat dan merah tenggelam ke dalam Samudra Hindia. Pantulan cahayanya menjadikan permukaan laut yang tenang berwarna emas keperakan. Tepat pukul 6 sore, kapal KM Pulau Simasin bertolak dari pelabuhan kecil yang terdapat di Batang Arau, Muara Padang, menuju Muara Sikabaluan di Pulau Siberut. Pulau Siberut merupakan pulau terbesar dari hamparan kepulauan Mentawai yang terdiri dari 40 pulau. Pulau Siberut terletak di Utara, tiga pulau besar lainnya adalah Sipora di tengah, Pagai Utara dan Selatan yang terdapat di selatan. Di pulau-pulau itulah suku Mentawai menetap dengan adat dan tradisinya yang unik, berbeda dengan suku-suku lain yang mendiami pulau tetangganya, Sumatra.
 
     Di dek depan kapal kayu yang mengangkut lebih dari dua ratus penumpang ini, Durga dan Pance Satoko sedang menikmati keindahan panorama alam sambil berbincang-bincang tentang perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih selama 12 jam. Saya tidak menyia-nyiakan momen ini dan langsung merekam frame demi frame suasana di atas KM Pulau Simasin ke dalam kaset mini DV. Kapal ini ditumpangi penduduk pulau-pulau sekitar, pedagang-pedagang dadakan dengan barang-barang dagangannya: kardus-kardus sembako, keranjang dan karung-karung yang berisi buah-buahan dan sayuran. Di dalam kapal kayu ini juga terdapat beberapa orang turis asing dari Amerika dan Australia, peselancar (surfer)yang sedang berburu ombak ke Mentawai. Konon, bagi banyak peselancar, keelokan ombak Mentawai termasuk salah satu yang terindah di dunia.
 
     Tidak seperti leluhurnya dari suku Mentawai, Pance Satoko tidak memiliki tato di tubuhnya dan tidak lagi mempraktikkan ritual-ritual Arat Sabulungan. Arat Sabulungan merupakan satu sistem pengetahuan, nilai dan aturan hidup yang dipegang kuat yang diwariskan oleh leluhur suku Mentawai. Mereka meyakini adanya dunia roh-roh dan jiwa. Setiap benda yang ada, hidup atau mati memunyai jiwa dan roh seperti manusia. Mereka harus diperlakukan seperti manusia. Karena itu orang-orang tidak boleh menebang pohon sembarangan, tanpa izin panguasa hutan (taikaleleu) serta kesediaan dari roh dan jiwa dari kayu itu sendiri. Untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan dunia roh-roh, manusia dan alam suku Mentawai mempersembahkan berbagai sesaji dan melakukan berbagai ritual.
 
     Pance Satoko adalah mahasiswa akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Jurusan Antropologi Universita Andalas Padang. Ibu Srisetyawati yang mengepalai Laboratorium Antropoligi Universitas Andalas merekomendasikan agar Pance Satoko menjadi pemandu dan penerjemah kami. Jurusan Antropologi yang dipimpinnya banyak melakukan riset dan penelitian Kepulauan Mentawai. Salah satunya adalah di Desa Mototonan, di pedalaman Siberut Selatan.
 
     Dengan modal nekat dan kamera hadycam pinjaman, kami sedang memulai sebuah proyek independen yang kami beri nama “Mentawai Tattoo Rivival” atau “Kebangkitan Kembali Tato Mentawai”. Sebuah proyek yang diprakarasi oleh Durga yang bertujuan membuat dokumentasi tato Mentawai dan melakukan workshop tato dengan sikerei (dukun) rajah yang tersisa di desa Matotonan. Durga pernah belajar di Fakultas Seni Rupa jurusan Desain Grafis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogkarta dan kini ia beralih ke seni tato setelah menetap di Los Angeles (LA), Amerika Serikat, antara 2006-2008. Di LA ia terpilih menjadi murid program Tattoo Apprenticeship, berguru dan bekerja untuk Black Wave tattoo studio di LA, secara langsung tiap hari di bawah bimbingan Sua Sulu’ape Freewind, seorang master tato yang ternama dan dihormati karena menjalankan dan memelihara tradisi tatau (teknik tato tradisional Tahiti, Samoa, Polinesia). Sua Sulu’ape Freewind pernah hidup di Polinesia dan kerap berkunjung ke suku Dayak Iban di Serawak, Kalimantan.
 
     Durga memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mempelajari motif-motif tato tribal yang ada di Nusantara, seperti yang terdapat pada suku Dayak di Kalimantan, orang-orang yang menetap di Pulau Rote dan di Kepulauan Mentawai.
 
 
     Tradisi rajah atau dalam bahasa Mentawai titi merupakan salah satu bentuk pengungkapan jati diri dan identitas orang Mentawai yang telah diwariskan leluhur mereka secara turun-temurun. Tato Mentawai merupakan bentuk seni rupa tradisional yang sangat terkenal di dunia, namun kini di daerah asalnya terancam kepunahannya. Jika kita berkunjung ke Pulau Pagai dan Sipora, di sana kita tidak lagi menemukan orang-orang Mentawai yang melanjutkan tradisi tato, dan ritual-ritual Arat Sabulungan hanya tinggal cerita dari leluhur di masa-masa yang telah berlalu.
 
     Kapal KM Pulau Simasin bergerak dengan kecepatan yang stabil dan kini mulai menembus malam. Leluhur orang Mentawai meninggalkan kisah tentang asal-usal mereka yang datang dari Pulau Nias, di sebelah utara Kepulauan Mentawai. Ada pun nama Mentawai berasal dari “Aman Tawe.”
 
     Konon, dahulu kala Ama Tawe pergi memancing ke laut dan terjadilah badai yang dahsyat sehingga menyeret Ama Tawe dan mendamparkannya di suatu tempat yang asing. Ama Tawe menemukan di pulau yang baru itu tanah yang amat subur. Terdapat banyak sumber makanan. Pohon sagu dan keladi tumbuh sendiri tanpa ada yang menanam dan merawatnya. Kemudian Ama Tawe kembali ke Nias, memutuskan untuk mengajak istri dan anak-anaknya untuk menetap di Mentawai. Keturunan Ama Tawe-lah yang mendiami daerah itu dan lama-kelamaan menyebar ke seluruh kepulauan.
 
     Legenda tentang asal-usul suku Mentawai itu meragukan bagi banyak peneliti. Dan para peneliti itu pun, dari berbagai hipotesa yang mereka paparkan, belum ada kesepakatan tentang asal-usul suku Mentawai ini. Misalnya, Neumann dan Von Rosenberg mengajukan hipotesa bahwa orang Mentawai berasal dari Polinesia. Neuman yakin orang Mentawai adalah sisa orang Polinesia yang terusir oleh kedatangan orang Melayu yang mendominasi Pulau Sumatra. Sementara itu, karena berbagai persamaannya dengan suku-suku yang mendiami Kepulauan Pasifik, Von Rosenberg menyatakan bahwa suku Mentawai langsung berasal dari Lautan Pasifik (Orao Neptutinuanus).
 
     Ada pun dua peneliti lainnya, Mess dan Morris, mengungkapkan bahwa orang Mentawai tidak identik dengan orang Melayu dan bahasa Mentawai ada kemiripan dengan bahasa Batak. Dan Dr. Oudemans mengatakan bahwa orang Mentawai serumpun dengan orang Batak dan pulau-pulau Batu di Nias.
 
     Pukul 05.00 KM Pulau Simasin berlabuh di Muara Sikabaluan, Siberut Utara. Lebih cepat satu jam dari yang diperkirakan. Tujuan kami adalah Matotonan di Siberut Selatan yang akan dicapai dari Muara Siberut. Kapal KM Pulau Simasin transit selama 6 jam. Pedagang dadakan menjajakan barang-barang kebutuhan pokok, pangan, dan sandang yang dibongkar dari kapal. Kebanyakan pedagang berasal dari Minangkabau dan Inang-inang dari Tapanuli. Mereka menajajakan barang-barang dagangannya selama kapal KM Pulau Simasin transit dan akan mengemasi barang-barang dagangannya jika kapal bertolak ke tujuan selanjutnya.
 
     Selama transit kami tidak menemukan orang-orang Mentawai dengan ciri khas mereka yang mengenakan kabit (cawat) dan tubuhnya yang penuh tato. Menurut Pak Man, seorang pendatang yang menetap di Muara Sikabaluan, tradisi tato dan Arat Sabulungan dilarang oleh Camat Sikabaluan. Jika ingin mencari tato di Sikabaluan, kita mesti ke pedalaman Simatalu yang mesti dilewati melalui pesisir utara Samudra Hindia. Dan jika musim badai, kapal-kapal kecil tidak ada berani yang melintasi lautnya.
 
         Memang Arat Sabulungan tidak bisa disamakan dengan “aliran kepercayaan” sebab kepercayaan ini sudah ada turun-temurun sejak leluhur suku Mentawai ada pertama sekali. Tetapi kategorisasi yang dibuat pemerintah sejak zaman Presiden Soekarno, memasukkan Arat Sabulungan sebagai bentuk aliran kepercayaan, juga kepercayaan animisme lainnya yang sudah ada pada leluhur bangsa-bangsa di  Nusantara. Karena dianggap meresahkan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa, Arat Sabulungan dihapuskan oleh pemerintah melalui satu kebijakan melalui SK No.167/PROMOSI/1954. Kemudian di Mentawai, Rapat Tiga Agama (1954), mengadakan aksi nyata yang initinya memerintahkan kepada orang Mentawai untuk meninggalkan Arat Sabulungan dengan memilih satu agama yang diakui pemerintah. Dan puncaknya terjadi pada zaman Orde Baru Soeharto antara 1970 sampai 1980-an, di mana secara represif orang-orang Mentawai dipaksa untuk meninggalkan tradisi tato dan Arat Sabulungan dengan menangkapi mereka yang ketahuan mempraktikkannya dan dengan membakari perangkat-perangkat upacara mereka.
 
     Pukul 11.00 kapal KM Pulau Simasin meninggalkan Muara Sikabaluan. Kami tiba di Muara Siberut sekita pukul 6.00 lewat. Selama perjalan sempat turun hujan yang tidak lebat. Dan dalam perjalanan itu, Durga sempat menato juru mudi kapal Ucok Zae, 25 tahun. Ucok Zae bukan berasal dari Batak, tetapi dari Nias dan ia minta ditato bola api di pergelangan kakinya. Mungkin inilah satu-satunya peristiwa di dunia, di mana seorang juru mudi kapal ditato sambil mengemudikan kendali kapal. Dan setiba di pelabuhan Maileppet, Muara Siberut, Bang Roby kontak yang direkomendasikan Ibu Srisetyawatidari Laboratorium Antropologi Universitas Andalas menjemput kami. Bang Roby memiliki warung makan dan pondok sederhana tempat kami istirahat dan bermalam. Esoknya Bang Roby dan Rinaldi Samoanpora akan membawa kami menyusuri sungai dengan perahu bot miliknya menuju ke Desa Mototonan.
 
     Setelah berbelanja berbagai kebutuhan selama di pedalaman, kami mulai menyusuri sungai-sungai yang bercabang menuju ke Matotonan. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan ibu-ibu dan anak-anak perempuan yang mencari lokan di sungai, berpapasan dengan pompong (perahu tradisional dengan mesin tempel) hilir mudik dari sepanjang sungai.
 
     Pemberhentian pertama kami adalah di Desa Rogrogot yang dihuni kira-kira 30 kepala keluarga. Kami menyantap bekal yang tadi pagi dibungkuskan ibunda Bang Roby di rumah panggung pinggir sungai milik Markus Tuamasin. Di bawah rumah panggung tempat kami beristirahat, terdapat kandang babi yang berlumpur serta bercampur dengan kupasan kulit-kulit pinang yang telah membusuk. Sambil menyantap bekal, kami berbincang-bincang dan merokok bersama dengan tuan rumah. Rupanya turis-turis dan para peneliti asing yang sering mampir ke Desa Rogrogot sering memberi uang jika berfoto bersama. No money no photo. Begitulah istilah mereka. Seusai makan dan istirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan dengan mengurungkan niat untuk berfoto bersama.
 
     Semakin ke hulu, sungai semakin dangkal, sehingga kira-kira pukul 14.30 kami mesti berhenti di desa selanjutnya, di Madobag. Pance Satoko memiliki kakak sepupu yang mendapat penugasan untuk mengajar di SMP Negeri setempat. Bang Roby menitipkan mesin boatnya di rumah kakaknya Pance dan mencarikan dua pongpong yang akan mengangkut kami menyusuri hulu Sungai Matotonan yang semakin dangkal.
 
     Matotonan adalah tanaman kecombrang, kincrung, atau onje. Tanaman yang buahnya terasa asam ini merupakan tanaman obat bagi suku Mentawai dan bunganya dikonsumsi sebagai sayuran. Sepanjang perjalanan menyusuri hulu sungai hingga sampai di Matotonan memang tanaman kecombrang dan bambu mendominasi, dan di kawasan muara di dekat pantai adalah berawa-rawa dan di penuhi pohon-pohon sagu.
 
     Medan yang kami tempuh dengan pompong ini semakin sulit. Sesekali perahu oleng dan menabrak bongkah-bongkah pohon, kandas di bebatuan karena air sungai yang dangkal, bahkan salah satu pongpong sempat sekrup baling-balingnya copot dan baling-balingnya patah menghantam batu. Untung saja ada baling-baling cadangan.
 
     Melalui berbagai medan yang berat, menjelang gelap akhirnya kami tiba di Desa Matotonan. Kami disambut penduduk setempat dengan hangat dan kami menginap di salah satu rumah di sebelah rumah Kepala Desa Matotonan. Kepala Desa Matotonan bernama Kristinus Basyir. Dari namanya kita tahu bahwa ketika kecil dulu dia pernah dibaptis. Setelah dewasa pindah ke agama Islam, dari situlah nama Basyir ia dapatkan. Sementara orang-tuanya yang masih hidup, masih menganut kepercayaan Arat Sabulungan, bertato, berburu dan memelihara babi. Rumah yang kami tempati ini adalah Pos Dinas Sosial, di mana Ibu Srisetyawatijuga menjadi salah seorang konsultannya.
 
 
     Biar pun masyarakat menyambut kami dengan hangat, ternyata respon mereka sangat beragam. Misalnya ada yang mencurigai kedatangan kami, bahkan ada yang meminta uang jika kami ingin mendokumentasikan tato yang masih tersisa. Tetapi setelah Pance menjelaskan maksud kedatangan kami, akhirnya mereka mengerti dan banyak dari mereka yang ingin ditato. Selain mendokumentasikan dan mencatat ulang desain-desain yang ada di Matotonan, kami juga menawarkan kepada mereka untuk melanjutkan tato mereka yang belum selesai dengan mesin yang kami bawa. Di desa Matotonan tinggal seorang sikerei tato, Teugora Sagulu. Ia menato untuk yang terakhir kalinya kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan kini ia sudah mengalami kerabunan.
 
     Sambil menikmati kopi dan rokok, malam itu juga Durga mendiskusikan beberapa desain tato Mentawai yang kami fotokopi dari buku-buku yang tersedia. Ternyata setiap wilayah memiliki ciri khas tato yang tidak sama dengan wilayah suku lainnya. Pengetahuan ini belum kami dapatkan pada bahan-bahan bacaan yang kami punya.
 
     Dulu, orang Mentawai membuat tato di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, yang hanya dilakukan oleh sikerei dan orang yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan generasi muda juga jarang yang menyaksikan proses pembuatan tato dan mereka enggan mempelajarinya. Apalagi setelah masuknya berbagai pengaruh modern dan dibangku sekolah mereka diajarkan bahwa kepercayaan leluhur mereka adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tradisi penyembahan terhadap berhala dan roh-roh. Bahkan seorang pemuda setempat yang ingin memiliki tato tengkorak, ketika kami tanya kenapa dia tidak ingin dibuat tato Mentawai, pemuda belasan tahun tersebut mengatakan bahwa tato Mentawai dan kepercayaan leluhurnya—Arat Sabulungan— adalah kepercayaan setan.
 
     Pada 1970 dan 1980-an ketika Orde Baru dengan ganas-ganasnya membasmi kepercayaan animisme suku-suku di pedalaman, masyarakat di Matotonan juga mengalaminya. Aman Eriana menceritakan bagaimana ia mendampingi istrinya yang ditangkap polisi pamong praja dan dibawa ke Muara Sikabaluan untuk bekerja membersihkan jalan, membuka ladang sebagai sangsi atas kepercayaan lelehurnya yang mereka anut dan tato yang menghiasi tubuhnya.
 
     Aman Derek Kere juga menceritkan hal yang sama. Yang ia ingat, mereka lebih dari seratus orang ditangkap dan diburu dan dua puluh orang berasal dari Matotonan. Selain diburu, alat-alat upacara mereka dibakar dan mereka ditodong dengan senjata laras panjang. Jika ketahuan petugas ada sanak famili dari mereka yang meninggal dan mereka melakukan upacara Arat Sabulungan, maka mereka mesti membawa lari mayat tersebut ke dalam hutan. Jika tidak, aparat polisi yang kadang juga disertai KORAMIL setempat, akan menangkap dan tak jarang memukuli mereka. Salah seorang dari polisi tersebut bernama Nico. Bahkan kepala desa sebelum yang sekarang ini, juga melarang tradisi tato dan segala yang berhubungan dengan Arat Sabulungan.
 
     Aman Sogagi adalah sikerei (dukun) paling muda yang kami temui di Desa Mototonan. Ia berusia 40-an. Seorang sikerei, selain memiki pengetahuan tentang obat-obatan, juga dianggap punya pengetahuan untuk menghubungkan manusia yang ada di dunia ini dengan roh-roh leluhur dan alam. Kami sangat berterimakasih kepada Ibu Srisetyawati dari Laboratorium Antropologi FISIP Universitas Andalas yang memungkinkan kami sampai ke tempat ini. Sebelum tradisi ini benar-benar punah seperti yang terjadi di Pulau Pagai dan Sipora. Dari desa ini, bersama dukungan sikerei-sikerei yang tersisa, kami akan melakukan pendokumentasian dan bersama mereka melakukan workshop tato. Beberapa orang sikerei sudah bersedia untuk melanjutkan tatonya yang belum selesai karena represi yang dilakukan Orde Baru. Dengan mesin tato yang kami bawa dari Jakarta, Durga akan melalukan kolaborasi dengan Teugora Sagulu. Master Tato yang tersisa di pedalaman Matotonan—salah satu banteng terakhir dari tradisi tato Mentawai dan kepercayaan leluhur mereka: Arat Sabulungan.

Mentawai: Taman Surga yang sedang Resah

Pendahuluan
     Kepulauan Mentawai yang indah terletak di sebelah barat pulau Sumatra. Kepulauan yang terdiri atas Pulau Siberut di Utara, Pulau Sipora di bagian tengah, dan Pulau Pageh di bagian Selatan memiliki luas permukaan sekitar 65.255 km2.
 
 
     Pada tahun 1821, Thomas Raffles yang lebih dikenal sebagai “Father of Singapore”, menyebut Kepulauan Mentawai sebagai “the garden of Eden” yang berarti taman surga. Bagaimana tidak, kepulauan ini diliputi oleh hutan tropis yang dilintasi oleh sungai-sungai berair jernih. Hutan sekaligus rumah bagi tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan unik yang belum tentu dapat ditemukan di belahan bumi lainnya seperti: beyuk (kera besar) dan lutung (kera berbulu hitam).
 
Kehidupan Sosial dan Budaya
     Kepulauan Mentawai dihuni oleh sekitar 60.000 populasi yang sebagian besar merupakan masyarakat adat. Mereka tinggal dalam kebudayaan warisan leluhurnya. Masyarakat adat Mentawai mengetahui rahasia hidup secara harmonis dengan alam tanpa harus merusaknya, karena kebudayaan warisan leluhur mereka selaras dengan hukum alam.
 
     Walaupun orang-orang Mentawai terisolasi secara sosial dan ekonomi, mereka tidak berperilaku seperti halnya Barbarian (sebutan orang-orang barat terhadap kebudayaan diluar kebudayaan orang-orang barat). Orang-orang Mentawai lahir, hidup dan mati dalam kebebasan. Mereka termasuk orang-orang yang tenang; cinta dan memelihara perdamaian, sopan, mudah bergaul, ramah, dan senang menjamu tamu yang datang. Dibandingkan dengan kehidupan materealis di dunia modern yang penuh dengan curiga dan saling menjatuhkan, orang-orang Mentawai lebih bijak dalam menjalani kehidupan ini.
Terdapat keunikan dalam hal perhitungan waktu di Mentawai. Mereka tidak kenal waktu, tidak menghiraukan teknologi, dan kemodernan. Bagi masyarakat adat Mentawai perhitungan waktu dibagi ke dalam “siklus kehidupan”, yaitu:
  •  Lahir
  • Muda
  • Perkawinan
  • Sakit
  • Kematian
     Orang-orang Mentawai tidak memakai banyak pakaian, tubuh mereka dihias oleh tato-tato yang sarat dengan makna kehidupan. Tato yang dikenal dengan sebutan “titi”. Desain tato bervariasi tergantung pada suku dan desa mereka. Tato menandakan kekuatan, kejantanan/kecantikan, karakter, dan juga merepresentasikan pengalaman hidup masing-masing orang. “Pakaian” masyarakat adat Mentawai juga kaya dengan aksesoris pendukung seperti: kalung, gelang, bunga dan dedaunan sebagai penghias tubuh sesuai dengan keadaan alam mereka.
 
Mata Pencaharian
     Beberapa aspek kebudayaan tradisional di Mentawai menjadi saksi masa Neolitikum dan Austronesia kuno. Dalam kesehariannya, orang-orang Mentawai bermata pencaharian dengan cara berburu, memancing ikan, mencari bahan makanan yang disediakan oleh alam, buah-buahan, sagu, tepung yang diekstraksi dari batang pohon palem, dsb. Pembagian kerja ditentukan oleh jenis kelamin.
 
Arsitektur
     Rumah dalam bahasa orang Mentawai disebut “uma”. Uma berbentuk rumah panjang yang dibangun di atas tiang-tiang dan dibangun tanpa paku atau menggunakan teknik konstruksi tanggam sambungan atau ikatan. Pusat upacara di rumah ditandai dengan tiang siegge legeu, yang berdiri ke kanan arah pintu masuk ruangan dalam (1). Ada kepercayaan bahwa pahlawan pembela budaya tinggal di bawah tihang dan bila rumah disucikan pada saat penyelesaian, inilah tempat bakkat katsaila ditempelkan. Yang terakhir adalah jimat rumah utama, terdiri dari segumpal daun-daun suci yang mempunyai pengaruh “mendinginkan” rumah dan penghuninya.
 
     Dalam tata ruang, terdapat beranda yang beratap (2) yang berfungsi untuk kegiatan sehari-hari dan bersantai; ruang luar (3) untuk ruang makan bersama, pesta, dan dansa. Ruang dalam (4) yang merupakan tempat bagi para wanita mengadakan pertemuan keluarga dan sekaligus tempat para tamu wanita menginap di ruangan tersebut.
 
     Masing-masing rumah memiliki beranda yang luas yang digunakan untuk upacara dan menari. Satu uma mungkin dapat menjadi rumah bagi selusin keluarga karena luas.
 
Pola Hunian
     Tiap keluarga mempunyai hunian sendiri-sendiri yang disebut “sapou” terletak di dekat perkebunan mereka, dan di situ pula mereka hidup sehari-hari, datang bersama-sama ke uma untuk upacara dan berpesta. Pada waktu tersebut, kehidupan keluarga menjadi bagian dari kelompok secara keseluruhan.
 
     Rumah panjang Mentawai tidak berpatokan pada arah mata angin, uma dipercaya akan membawa kemakmuran bila mendapat persetujuan dari roh leluhur. Sebelum pembangunan uma dimulai, terlebih dahulu dilakukan upacara interaksi dengan alam sekitar, seperti: tempat dibersihkan, lalu memanggil burung tertentu, hewan tertentu, membaca cuaca dan iklim. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat tersebut sebagai hunian. Orang-orang Mentawai mampu membaca bahasa alam tersebut dengan baik.
 
Kepercayaan
     Pada dasarnya, orang-orang Mentawai menganut kepercayaan nenek moyang yang diturunkan secara turun temurun. Upacara adat utama disebut “Puliaidjar”, upacara pemanggilan roh leluhur dengan media pengorbanan hewan ternak seperti babidan ayam diikuti dengan sesajen, bunga, dan lonceng. Orang yang memimpin upacara ini disebut “kerei”. Kerei memulai upacara dengan menari melingkar, melompat-lompat ke udara, menangis meratap untuk memanggil leluhur.
 
Harmonisasi Kehidupan
     Orang-orang Mentawai memperlakukan alam dengan seimbang, dengan kondisi yang saling mendukung satu sama lain. Mereka percaya bahwa dengan melakukan tindakan yang merusak atau merugikan alam, maka akan merusak keharmonisan kehidupan di dunia.
 
     Sebagai contoh kearifan lokal yang terdapat pada suku mentawai adalah sebagai berikut: sebelum menebang pohon, menyembelih atau membunuh hewan untuk menjadi santapan atau sebelum mencangkul tanah, orang-orang disana melakukan beberapa upacara terlebih dahulu, upacara sebagai penjelasan dan permohonan terhadap alam bahwa tindakan mereka semata-mata dilakukan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok. Sebuah interaksi metafisik antara manusia dengan alam yang berbahasa dengan caranya tersendiri. Orang-orang Mentawai melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran dan telah dilakukan sejak berabad-abad lamanya.
 
Pengaruh Eksternal dan Kehidupan Sosial Hari Ini
     Misionaris Katolik masuk ke daerah Mentawai pada tahun 1950-an dan sejak masuknya misionaris pula banyak orang-orang Mentawai masuk ke dalam agama Katolik. Walaupun demikian, dalam kehidupan keseharian mereka tetap menghargai upacara-upacara yang telah diwariskan oleh leluhur. Bagimana pun, setelah kedatangan pengaruh dari luar, maka upacara-upacara adat disana pun menjadi tercampur baur (terjadi proses akulturasi) antara kepercayaan local dengan kepercayaan baru.
 
     Seiring dengan pengaruh luar yang gencar melakukan pergerakan di Mentawai, seperti dengan membangun sekolah dasar untuk para generasi muda disana, maka terjadi sebuah perubahan budaya dan kepercayaan diri pada masing-masing generasi muda di Mentawai. Kebanggaan dan kehormatan tradisi nenek moyang tergerus oleh kekinian menjadi sebuah aib (rasa malu) yang melahirkan keminderan bahkan berangsur untuk dilupakan dan berganti haluan ke arah kehidupan modern yang belum tentu lebih baik dari tradisi nenek moyang mereka. Hal tersebut berakibat pada lahirnya generasi pseudo-modern yang di satu pihak tidak lagi mempercayai budaya adat istiadat nenek moyang dan di lain pihak mereka pun dilupakan oleh manusia lain di belahan dunia luar.
 
     Sekarang, dunia modern sedang mengalami kebimbangan dalam menentukan arah dan sedang berusaha berdamai dengan alam maupun berdamai dengan sesama. Di sisi lain, tradisi dan adat istiadat lokal Mentawai yang sangat mengerti tentang keharmonisan alam dan perdamaian tertinggal di belakang tergerus oleh peradaban konsumtif modern bahkan oleh generasi mudanya yang telah mendapat pengaruh dari luar. Kebudayaan Mentawai sedang berada di ujung jurang yang curam. Taman Surga kini sedang dalam bahaya.

Mentawai: Sejarah dan Tradisi Peninggalan Zaman Neolitikum

Mentawai merupakan kepulauan yang terdiri dari beberapa puluh pulau. Pulau yang paling besar ada tiga, yakni Pulau Siberut, Pulau Pagai, dan Pulau Sipora. Di antara ketiga pulau tersebut, pulau yang paling besar adalah Pulau Siberut dengan luas 4.480 km2. Sejak era otonomi daerah, pulau-pulau Mentawai tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, melainkan menjadi kabupaten tersendiri, yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibukota di Pulau Pagai dan termasuk wilayah Provinsi Sumatra Barat.
 
Peta Siberut
 
        Jarak Kepulauan Mentawai dari Kota Padang kurang lebih 135 km melintasi Samudra Hindia yang luas dengan ombak yang tinggi dan sering ganas. Oleh karena itu, transportasi menuju ke kepulauan ini sangat tergantung kepada cuaca; apabila sedang musim badai maka jarang ada kapal yang berani melintasinya. Keadaan ini sudah berlangsung selama berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu sehingga membuat Kepulauan Mentawai menjadi seperti "terisolir." Akan tetapi, kondisi ini sesungguhnya sangat menguntungkan di mana Kepulauan Mentawai dengan segala isinya tumbuh dengan unik, terutama flora dan fauna yang hanya ada di Kepulauan Mentawai.
 
        Kondisi ini secara tidak langsung juga membuat masyarakat yang tinggal di dalamnya dan budaya yang dimilikinya memunyai ciri khas tersendiri, mengikuti keadaan alamnya. Merupakan hal yang wajar apabila daerah Mentawai menjadi salah satu kawasan yang dilindungi di Indonesia sebagai “cagar bioster”. Kawasan Taman Nasional Siberut ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan no 407/Kpts-II/93 yang berlaku surut sejak 1992.
 
        Kepulauan Mentawai merupakan pulau yang berada di gugusan pulau nonvulkanik yang letaknya memanjang di bagian paling barat Indonesia. Meski dari segi geografis merupakan dari suatu kelompok, namun kebudayaan tadisionalnya berbeda-beda. Simalur, pulau yang paling utara, penduduknya beragama islam dan sangat dipengaruhi kebudayaan Melayu. Pulau Nias yang berada di selatannya terkenal dengan bangunan batu besarnya (Megalitikum), serta kelebihan dalam bentuk desa-desanya, yang mencerminkan pola pemikiran hierarkis dengan menonjolkan keturunan; pola pemikiran ini sangat mewarnai sistem sosial dan agama, dan merupakan kekhasan kebudayaan zaman perunggu di Indonesia. Tetapi kebudayaan tradisional di Kepulauan Mentawai, baik dari segi teknologi, sosial, maupun religius masih merupakan wujud dari kebudayaan Neolitikum (Zaman Batu Muda).
 
        Corak masyarakat yang mencerminkan kehidupan zaman Neolitikum telah menarik perhatian orang-orang. Mereka banyak yang heran karena orang Mentawai lebih banyak menampakan kemiripan dengan penduduk Kepulauan Hawaii, Tahiti, dan Polinesia. Kemiripan ini mungkin akan dapat dijelaskan secara historis. Kebudayaan Neolitik yang berkembang di Indonesia maupun di Kepulauan Polinesia sama-sama berasal dari daratan Asia Tenggara. Dari kawasan tersebut diperkirakan kebudayan dibawa oleh migrasi penduduk sehingga akhirnya berdiam di Indonesia dan Polinesia. Penduduk yang melakukan perpindahan tersebut tergolong ras Mongoloid, dengan berbagai dialek yang tergolong satu rumpun yaitu bahasa Austonesia. Mereka sudah mengenal bercocok tanam. Salah satu pekakas yang penting bagi mereka adalah kapak batu dengan bentuk yang khas yaitu empat pesegi panjang (kapak persegi). Kapak ini ternyata masih dipakai di Polinesia sampai masa historis.
 
        Sungai-sungai yang ada di daerah sekitar digunakan sebagai jalan transportasi untuk mengangkut hasil panen dengan menggunakan perahu lesung yang ramping dan lincah. Selain untuk membawa hasil panen lewat jalan sungai, perahu digunakan sebagai alat transportasi untuk pergi menangkap ikan. Jika mereka akan menangkap ikan, perahu lesung tersebut ditambahkan leh alat lain yaitu cadik, dengan tujuan untuk keseimbangan agar tidak terbalik.
 
2.       Kosmologi
        Orang Siberut tidak memunyai gambaran yang jelas tentang awal mula dunia tempat mereka hidup. Walau mereka memunyai gambaran tentang berbagai kisah mitologis yang kadang-kadang sebagai tema utama dan dengan sepintas bercerita tentang terciptanya jagat raya, juga perihal asal mula berbagai gejala atau mengenai riwayat manusia, namun berbagai mitos tersebut tidak dapat menjabarkan gambaran menyeluruh; beberapa gejala tertentu ada yang penting, tetapi ada pula yang kelihatannya sepele dijelaskan seluk beluknya, sementara yang lain tetap dibiarkan kabur. Namun kenyataan ini bagi orang Mentawai tidak dirasakan mengganggu. Mitos-mitos tersebut bagi mereka bukan cerita dongeng, melainkan riwayat yang benar-benar pernah terjadi. Itu sudah memadai untuk dijadikan pegangan mereka dalam menghadapi keanekaragaman yang ada. Motos-mitos yang ada dianggap sebagai kejadian yang benar-benar sudah terjadi dan memberikan gambaran tentang terciptanya kehidupan di jagat raya. Dalam pemaparan selanjutnya akan tampak bahwa sehubungan dengannya, lingkungan manusia selalu menempati posisi sentral dan merupakan titik tolak dari keseluruhan kosmos.
 
Gambar monyet dengan biyawak yang terdapat pada papan rumah
 
        Menurut pandangan orang-orang Siberut, pulau tempat kehidupan mereka merupakan titik pusat samudra dunia, dikelilingi pulau-pulau lainnya. Menurut cerita setempat, konon pada suatu hari, dari samudra muncul langit, muncul dari timur dari “tanah langit”. Langit tumbuh “bagaikan rebung”, lalu menyebar dan membentuk kubah langit. Tanah langit merupakan tempat tiggal orang-orang berkulit putih. Mereka memakan rebung langit yang selalu diolesi minyak agar tumbuh terus. Ketika langit sudah tercipta, muncullah matahari dan bulan. Keduanya mengembara secara keseluruhan, menyusur kubah langit ke arah barat. Tetapi di sana ada seekor buaya besar yang hidup di dalam laut. Buaya itu menelan matahari dan bulan, ketika keduanya turun di sebelah sana. Tidak lama kemudian benda-benda langit itu muncul kembali, tetapi kali ini mereka memperoleh pertolongan. Di pinggir sebelah barat, ada orang merah yang tinggal di situ; orang-orang itu dengan segera membuat bola-bola dengan umbi keladi. Begitu matahari dan bulan menghampiri tepi langit dan buaya mengangkangkan moncong untuk menelan keduanya, orang-orang merah tadi lantas melemparkan bola-bola yang mereka buat ke dalam kerongkongan buaya. Dengan begitu matahari dan bulan dapat kembali ke tanah langit lewat bagian dalam. Begitulah kejadian itu terus berulang sampai sekarang. Sedangkan di pinggir sebelah selatan dan utara, hanya angin saja yang ada. Selama musim badai (anggau) yang kira-kira terjadi dari Juli sampai September, angin utara atau angin barat merajalela; untuk kedua jenis angin ini tidak terdapat penamaan yang khusus. Sedangkan selama angin teduh, angin tenggara yang dinamakan kayaman bertiup sepoi-sepoi. Di suatu tempat di dalam samudra, hidup seekor kepiting raksasa yang setiap kali muncul ke permukaan, yaitu pada saat mencari makan. Kemunculannya mengakibatkan laut pasang surut. Apabila kepiting itu masuk lagi ke dalam laut maka air akan pasang.
 
        Pada mulanya langit terletak dekat di atas bumi, begitu dekat, sehingga panas matahari membakar para wanita dan anak-anak yang hendak pergi mandi ke sungai. Untuk mendorong langit agar mundur menjauh, para pria memanahnya. Anak panah yang dilepaskan menembusi kubah langit. Lubang-lubang tembusan itu menjelma menjadi bintang-bintang. Akhirnya kubah langit menjadi bertambah lengkung, dan titik rembang mundur ke kedudukannya yang sekarang. Dalam suatu mitos lain, bintang-bintang merupakan anak-anak bulan. Mulanya matahari juga memunyai anak, berwujud matahari-matahari kecil yang sinarnya menghanguskan. Timbullah rasa kasihan bulan terhadap manusia. Bulan menyapu mulutnya dengan air hasil kunyahan kulit kelapa muda. Air itu berwarna merah darah. Ia pun mengatakan pada matahari bahwa ia baru saja memakan anak-anaknya, enak sekali rasanya. Matahari terkecoh, lalu memakan anak-anaknya. Tetapi begitu malam tiba dan hari menjadi gelap, bintang-bintang bermunculan. Saat itu barulah matahari sadar bahwa ia tertipu. Dengan perasaan berang, disambarnya parangnya, lalu ditebasnya bulan sehingga terbelah-belah. Itulah sebabnya mengapa bulan sampai sekarang muncul sepotong demi sepolong. Bulan membalas serangan matahari, tetapi tidak mampu membelahnya, melainkan hanya menyebabkan pinggirannya tergerupis-gerupis. Sampai sekarang matahari muncul dengan wujud seperti berjari-jari, tanpa garis bentuk yang jelas. Dan sejak itu matahari dan bulan tidak pernah lagi tampak seiring.
 
        Menjelang akhir setiap bulan, bulan jatuh sakit. Ia menjadi kurus, lalu pergi ke ladang kunyitnya untuk mati di situ. Ulat-ulat yang bermunculan dari tubuhnya menjadi anak-anak ikan (simarou'), yang muncul dalam jumlah berlimpah ruah di Mentawai selama kuartal bulan yang terakhir. Akan tetapi, lambat laun bulan berhasil pulih dan muncul kembali, disambut dengan nyanyian jangkerik, yaitu anak-anak bulan di bumi saat ia terbit dan kemudian sewaktu terbenam. Kedudukan istimewa di antara benda-benda langit ditempati oleh gugusan bintang Bintang Tujuh (Yunani: Pleiades), yang dalam bahasa orang Siberut disebut Balu-balu (Delapan-delapan). Gugusan bintang itu mulanya merupakan delapan anak laki-laki bersaudara yatim-piatu. Karena jumlah mereka yang begitu besar dirasa merepotkan sanak saudara mereka, mereka memasukkan kedelapan abang adik itu ke dalam guci tempat persediaan makanan yang kemudian disumbat lalu dihanyutkan di sungai. Saudara laki-laki ibu mereka yang saat itu kebetulan sedang menangkap ikan di hilir, mengeluarkan lagi guci itu dari dalam sungai, lalu memelihara anak-anak itu karena merasa kasihan. Tetapi lama-kelamaan paman itu kewalahan. Ketika kedelapan abang adik itu berada di atas sebatang pohon buah-buahan, ia berusaha mengusir mereka dengan teriakan bahwa ada musuh di dekat situ. Ia mengira anak-anak itu akan lari. Anak-anak itu menyadari bahwa teriakan itu hanya siasat belaka. Mereka sedih sekali, sehingga pada suatu hari mereka membuat perahu lesung yang sangat besar (kalabba') di ladang sebuah jurang yang dalam di sisi timur Siberut, bekas robohan pohon yang ditebang untuk dijadikan perahu mereka. Mereka lalu pergi naik perahu itu. Sebelum berangkat, dari atas perahu mereka memberitahukan kepada bapak angkat mereka tentang ciri-ciri berbagai musim: jika ia melihat mereka di langit sebelah timur pada saat menjelang fajar, maka tibalah waktu untuk pergi menangkap rajungan (aggau) di pantai; tidak lama setelah itu buah-buahan di pohon akan ranum. Tetapi pada waktu bersamaan tiba pula musim badai, saat orang sebaiknya jangan turun ke laut; sedangkan jika mereka nampak di barat tidak lama setelah malam tiba, itu berarti sudah tiba musim laut tenang; itulah saat yang baik untuk pergi berburu penyu di laut. (Ini sesuai dengan kedua musim yang di Mentawai disebut aggau dan rura).
 
        Setelah itu "Delapan-delapan" berangkat ke langit, dan di sana menjelma menjadi gugusan Bintang Tujuh. Tiga dari mereka sudah menikah sewaktu masih ada di bumi. Para istri mereka hendak ikut, namun tidak berhasil menyusul, lalu menjelma menjadi pending gugus Orion. Karena merasa kasihan, "Delapan-delapan" melemparkan rahang bawah seekor babi hutan untuk ketiga istri itu; itu kemudian menjadi Segi Tiga Aldebaran dan kelompok Hyades, yang letaknya antara Orion dan Pleiades. Perahu yang ditumpangi kedelapan abang adik itu sampai pada posisi yang lebih jauh dari mereka sendiri, dan sampai sekarang masih tampak di langit, sebagai Triangutum.
 
        Asal mulanya hanya Pulau Siberut saja yang ada di tengah-tengah samudra raya. Tidak ada yang tahu, bagaimana terciptanya. Seorang dukun bernama Pageta Sabbau yang memiliki kekuatan gaib luar biasa, hidup di pulau itu. Pada suatu hari, anak laki-laki saudara perempuannya ingin menguji kemampuannya: ia memohon pada dukun itu agar menghanyutkan tanah bagian tenggara Pulau Siberut yang kelam. Pageta Sabbau mengambil lonceng dukunnya; sambil membunyikan lonceng itu ia menyanyikan sebuah lagu. Tanah mulai merengkah, lalu hanyut ke laut. Tetapi beberapa lama kemudian anak lonceng putus, dan gerakan tanah terhenti. Saat itu bagian tenggara dari Siberut baru saja terlepas; sampai sekarang masih ada selat sempit yang menunjukkan tempat tanah itu terlepas dari bagian pulau yang selebihnya. Melalu cara itulah tercipta tempat-tempat lainnya yang kini dihuni manusia. Gambaran yang ada mengenai tempat-tempat tersebut hanya samar-samar saja. Orang Siberut tahu bahwa di selatan terdapat pulau-pulau tempat tinggal orang Sakalagaan (yang barangkali barasal dari kata laggai, yang berarti "pemukiman", ada pula yang mengatakan bahwa asalnya dari kata eilagal, yaitu nama sejenis pohon). Pulau-pulau itu adalah Sipora (yang penghuninya menyebut diri mereka sendiri orang Sakalelegat, yang berasal dari kata lelegat, yang berarti "tempat", atau Sakobou dari kata kobou, "sumber air asin"), serta Pulau Pagai (penduduk kedua tempat itu juga menamakan diri mereka sendiri orang Sakalagaan). Di ketiga pulau di sebelah selatan itu penghuni Pulau Siberut disebut orang Sabirut (dari kata birut, "tikus"), mengacu pada nama sebuah sungai di bagian tenggara pulau itu.
 
     Menurut tradisi , dari sanalah asal usul orang-orang yang pertama-tama datang untuk menghuni pulau-pulau sebelah selatan. Di sebelah utara pulau Siberut diketahui ada pulau-pulau Datu (Sabaigua), yang tampak dari pantai utara jika cuaca sedang cerah. Di Sumatra yang terletak di timurnya, tinggallah orang sasare, yaitu orang "dari jauh", nama itu pula yang diberikan pada para nelayan bersuku bangsa Minangkabau yang bermukim di pesisir timur Pulau Siberut. Dari tempat itu pada pagi hari yang cerah tampak puncak-puncak gunung api yang terdapat di Sumatra.
 
        Hanya itulah gambaran konkrit yang ada tentang geografi. Pulau Nias saja, atau Pulau Enggano yang letaknya di selatan Kepulauan Mentawai, sudah tidak dikenal. Namun lewat perkenalan dengan orang-orang Jawa, dengan pedagang berbangsa Cina, orang-orang Belanda, Jepang, dan belakangan ini dengan para penebang kayu berbangsa Filipina, ditarik kesimpulan bahwa mestinya masih ada lagi pulau-pulau lain. Orang Mentawai juga sama sekali tidak memiliki gambaran tentang jarak ke berbagai tempat.
 
       Di kubah langit diceritakan ada tempat-tempat pemukiman yang dihuni oleh para roh (saikamanua, dari kata manua, "langit"). Tidak terdapat cerita perihal asal mula mahluk-makhluk itu. Tetapi mereka berwujud manusia, dan dalam berbagai mitos diceritakan tentang hubungan antara mereka dengan alam kehidupan manusia: putri-putri dari langit menikah di bumi, manusia naik ke langit dengan memanjat sulur dan sebagainya. Makhluk penghuni langit yang dikenal namanya adalah Kombut, saudara laki-laki seorang gadis yang pindah ke tempat kediaman manusia. Kombut jengkel karenanya, lalu bertempat tinggal di bulan; sejak itu ia sibuk memintal tali yang panjang di sana, yang hendak dipergunakannya untuk memancing manusia sebagai pembalasan dendam. Tetapi istrinya, yang tinggal di bawah bulan, sering kali memotong tali itu dan dengannya menggagalkan niat jahat suaminya.
 
        Roh -roh juga tinggal "didalam" (ka baga), yaitu di bagian-bagian bawah bumi. Yang terpenting di antara mereka ialah roh gempa Roh ilu mulanya manusia, seorang anak yatim piatu yang bersama saudara perempuannya dipelihara oleh para saudara laki-laki ayahnya yang sudah meninggal dunia. Pada suatu hari ia ikut dengan seluruh kerabatnya, pergi memetik buah-buahan. Tetapi anak laki-laki itu selalu hanya kebagian buah yang masih mentah, atau yang sudah busuk. Namun begitu ia memakan buah-buahan itu, dengan tiba-tiba semuanya menjadi ranum. Para kerabatnya terkejut melihat hal itu, lalu cepat-cepat lari naik perahu; kedua anak tadi mereka tinggalkan. Perjalanan kedua anak yang hendak pulang itu terhalang oleh sebuah sungai. Suatu roh air yang berwujud buaya merasa kasihan pada mereka. Roh itu menyatakan bahwa ia bibi mereka (saudara perempuan ayah), lalu membawa mereka ke seberang. Sesampai di sana diajarkannya anak yang laki-laki cara membuat uma serta upacara-upacara dan segala pantangan yang bertalian dengannya.
 
        Di bawah bimbingan anak itu seluruh kerabat kemudian membuat sebuah rumah besar. Bagian tugas anak laki-laki itu dilakukan oleh buaya, sehingga hasilnya jauh melebihi yang lain-lainnya. Perasaan iri mereka timbul, dan ketika si anak atas desakan mereka masuk ke dalam lubang
 
3.       Zaman Prasejarah
        Berdasarkan penelitian antropologi, orang Mentawai paling berdekatan dengan suku bangsa di Sumatra yang belum islam. Hal ini diperkirakan bawah suku Mentawai berasal dari Sumatra. Mengenai bagaimana perpindahan tersebut terjadi, kita hanya bisa mengira-ngira. Orang Mentawai tidak mengenal teknologi pengerjaan logam, bercocok tanam padi, maupun mengerjakan kain tenun. Jadi, diperkirakan kebudayaan mereka lebih kuno dari kebudayaan zaman perunggu. Organisasi komunitas di Mentawai berdasarkan prinsip kesamaan derajat tidak mengenal kepala atau pemimpin; di sana juga tidak dikenal kebudayaan monumen-monumen bangunan batu besar (Megalitik), dengan demikian diperkirakan penduduk kepulauan Mentawai menganut kebudayaan Neolitikum.
 
        Namun pada saat sekarang ini penduduk Mentawai tidak lagi membuat mata kapak dari batu, yang merupakan kebudayaan zaman Neolitikum. Mereka juga sudah tidak mengingat lagi kapan kebudayaan kapak batu digunakan. Sudah sejak lama mereka memperoleh peralatan dari besi, seperti parang dan mata kapak dari para pedagang yang ada di Sumatra lewat pertukaran dengan buah kelapa dan rotan. Hanya dalam mitos-mitos saja diceritakan bahwa silakokkoina, yaitu sebangsa raksasa yang jahat pada zaman dahulu kala menggunakan kapak bermata kulit lokan. Sejak 1970 di Pulau Siberut ditemukan sebuah mata kapak dari batu yang jenisnya diperkirakan memunyai kesamaan dengan varian lain yang ditemukan di kepulauan Indonesia dan diperkirakan dari zaman Neolitikum. Benda-benda yang dibuat di Mentawai pada zaman sekarang ini ternyata masih memiliki kemiripan dengan hasil kebudayaan zaman Neolitikum. Dengan begitu, kita bisa memperkirakan bahwa kebudayaan Mentawai berakar sejak zaman Neolitikum awal di Asia Tenggara. Kepulauan Siberut sepertinya telah dihuni oleh manusia sebelum berkembangnya kebudayaan Megalitikum dan kebudayaan Dongson di Asia Tenggara.
 
        Adanya kontak dengan kebudayaan perunggu terutama nampak dalam kesenian orang Mentawai. Kesan tentang bentuk-bentuk seni akan diperoleh dari ornamen-ornamen pada permukaan bentuk tabuh besar, ada yang memiliki ukuran sebesar tubuh manusia dan diberi nama nekara.
 
        Pembandingan dengan bentuk ornamen yang dikenal di Mentawai dengan jelas memperlihatkan adanya keserupaan. Di sini pun terdapat semua bentuk ornamen bercorak spiral, namun yang membedakaan adalah bahan yang dihiasnya. Pada kebudayaan Dongson yang dihias adalah bahan perunggu, sedangkan pada kebudayaan Mentawai yang dihiasi adalah kayu yang diukir atau dihias dengan menggunakan warna hitam. Bentuk-bentuk yang ditemukan di Mentawai memberi kesan lebih lincah apabila dibandingkan dengan bentuk ornamen zaman perunggu yang tersusun memanjang dan diulang-ulang bentuk secara kaku. Bentuk lain dari kebudayaan Dongson yang ditemukan di Mentawai adalah pola corak yang disebut tumpal (segitiga berderet memanjang), pola kepangan (garis-garis berombak berjalinan), serta pola khas yang merupakan abstraksi dari gambar figuratif.
 
        Pada hiasan benda-benda kebudayaan Dongson, kecuali pola ornamental, terdapat pula bentuk-bentuk realistik, seperti gambar kadal dan rusa. Bentuk seperti ini pun ditemukan di Mentawai. Tetapi bentuk yang paling mencolok adalah keserupaan pada gambar-gambar manusia, yang berwujud sosok dengan cawat sebelah depan dan belakang menjulur ke bawah, hiasan kepala tinggi, dan kedua lengan terangkat. Pada zaman dulu diperkirakan sudah terdapat kebudayaan menari. Hal ini diperkuat ketika dilakukan perbandingan dengan penari-penari yang ada di Mentawai dan ternyata semakin memperkuat dugaan tersebut. Tarian-tarian tersebut menirukan seekor burung: cara lengan terangkat. Hiasan kepala dan cawat yang digunakan dapat diperkirakan merupakan contoh-contoh gambar yang terpahat dalam relif gambar nekara-nekara tersebut. Cawat serupa yang dibuat dengan teknik serupa dengan menggunakan bahan tambahan kain yang dibawa dari Sumatra, hanya dikenakan oleh para dukun. Sebagai hiasan sering dipakai pola tumpal. Di Mentawai pun ada gambar-gambar penari dengan pola hias kepala dan lengan terangkat.
 
Dukun Sakuddei yang sedang menari dengan hiasan bercorak tumpal pada cawatnya.
 
        Di Mentawai masih terdapat pengaruh alam pikiran dari zaman perunggu. Orang Mentawai mengatakan bahwa nenek moyang mereka naik perahu lesung di langit untuk menjemput roh orang-orang baru meninggal di dunia.
 
        Keserupaan antara Dongson dan Mentawai dalam berbagai bentuk seni dan religius merupakan hal yang ganjil, apabila diingat perbedaan-perbedaan yang ada di antara kedua kebudayaan ini dari segi teknologi dan sosial. Bahkan dalam segi religius hanya terapat dalam motif-motif tertentu saja. Karakteristik kepercayaan orang Mentawai sama sekali lain coraknya dari yang dapat diperkirakan akan ditemukan dalam satu komunitas Dongson yang hierarkis, dan berdasarkan tradisi kebudayaan zaman perunggu yang sampai sekarang masih hidup di Indonesia.
 
        Di Mentawai, figur-figur dari kayu terutama dibuat terutama dibuat dalam hubungan dengan pengayauan suatu figur untuk setiap korban dan dipajang di dalam rumah. Figur-figur tersebut dengan jelas menampakan wujud yang statis yang monumental, sangat disederhanakan, serta simetris. Menurut Heine-Geldern itu merupakan kekhasan dari zaman Neolitikum.
 
4.       Pengaruh Hindu-Buddha dan Islam yang Tidak Mempan
        Masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan Islam, ternyata tidak membekas pada kebudayaan masyarakat Mentawai. Pola ornamennya ternyata masih ada sampai sekarang. Di Sumatra Barat, jelas sekali adanya pengaruh India; wujud berupa pola-pola sulur, yang bentuk tumbuh-tumbuhannya dengan kedaun-daunan dan bunga-bungaan jelas sekali berbeda dengan pola geometrik di Mentawai. Hanya pada suatu bentuk tarian dukun, yang memutari sebuah piring berisi sajian dengan gerakan-gerakan yang sudah ditentukan dengan ketat, hal ini diperkirakan memiliki persamaan dengan tarian piring di Sumatra Barat. Tampak pula pengaruh-pengaruh dari Sumatra, yang datangnya lebih kemudian.
 
        Kontak antara satu daerah dengan daerah lain memang tidak bisa dihindarkan. Lebih lanjut terjadi kontak yang lumayan cukup intens antara orang-orang Sumatra dengan orang-orang Mentawai. Hal ini dilakukan berhubungan dengan masalah kebutuhan manusia sehari-hari, baik peralatan hidup maupun bahan pokok. Produk-produk didatangkan langsung dari Sumatra, seperti pekakas dari logam, bahan kelambu, panci besi serta manik-manik dari kaca. Namun, benda-benda yang didatangkan dari Sumatra tersebut tidak menimbulkan pengaruh yang mendasar terhadap kebudayaan Mentawai, melainkan hanya pengganti hasil-hasil sendiri yang kalah baik mutunya.
 
        Kebudayaan masyarakat Mentawai dengan teknologi yang bersahaja dan struktur sosial yang berdasarkan pada kesamaan derajat, berakar pada masa awal Neolitikum di Asia Tenggara. Pada watu bersamaan mungkin juga masuk pengaruh figuratif ke Mentawai. Hal ini tampak jelas pada beberpa perwujudan bentuk tertentu dalam kesenian. Tetapi, kecuali motif-motif tertentu dalam kepercayaan, kebudayaan selebihnya hampir tidak tekena oleh kebudayaan zaman perunggu. Hubungan yang terjadi kemudian sebelum kedatangan orang-orang Eropa, hanya terbatas pada peralatan tertentu saja, dan itu tidak memengaruhi kebudayaan secara signifikan.
 
        Menurut tradisi silsilah orang-orang Mentawai, kawasan yang pertama-tama dihuni terleka di Samalalu, di bagian barat pulau Siberut. Segenap clan asli penduduk Mentawai berjumlah kurang lebih dua puluh lima menyebutkan bahwa mereka berasal dari tempat pemukiman awal itu. Ada yang menarik dari clan. Mereka ternyata memiliki mitos-mitos tersendiri tentang nenek moyang mereka, namun semuanya mengandung tema-tema dasar tertentu yang serupa. Dalam setiap mitos, proses perpindahan selalu di dahului oleh sengketa, yang dalam berbagai clan diakatakan adalah mengenai buah sipeu, yang menyerupai buah kesemek. Ada dua orang laki-laki bersaudara, masing-masing memiliki batang pohon sipeu. Pohon saudara yang tua lebih kecil buahnya apabila dibandingkan dengan adiknya. Kakaknya memetik buah dari pohon adiknya, ditukarkan dengan hasil buah pohonnya yang memiliki ukuran buah lebih kecil. Tetapi adiknya yang memiliki pohon dengan buah lebih besar, begitu melihat bekas buahnya jatuh di tanah yang lunak, langsung mengetahuinya bahwa dia ditipu. Ia marah sekali lalu dia pergi mencai tempat lain untuk bermukim.
 
        Mitos lain menceritakan tentang anak-anak dari sebuah uma, yang bermain di tepi sungai. Mereka bermain lempar-lemparam. Mula-mula mereka main lempar-lemparan lumpur lalu kemudian dengan lembing batang gelagah. Salah seorang dari mereka secara diam-diam memasukkan duri kedalam lembingnya dan akhirnya melukai salah seorang anak tersebut, yang akhirnya menyebabkan kematian. Ayah anak itu mengancam akan membalas kematian anaknya dengan lembing yang sebenarnya. Mendengar ancaman tersebut, keluar anak yang bersalah lari dan mendirikan pemukiman di daerah lain. Demikianlah, lambat laun lembah-lembah di daerah tersebut dapat dihuni. Pendatang baru mencari lahan yang belum ada pemiliknya; di tempat tersebut mereka membangun tenda-tenda pada pepohonan dan wilayah temuan tersebut dinyatakan sebagai miliknya. Mereka bergotong royong membangun wilayah tersebut dengan menanam berbagai sumber makanan.
 
5.       Struktur Sosial
        Masyarakat Mentawai bersifat patrinial dan kehidupan sosialnya dalam suku disebut uma. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, di mana mereka tinggal di rumah besar yang disebut juga uma yang berada di tanah-tanah suku. Seluruh makanan, hasil hutan, dan pekerjaan dibagi dalam satu uma. Kelompok-kelompok patrilinial ini terdiri dari keluarga-keluarga yang hidup di tempat-tempat yang sempit di sepanjang sungai-sungai besar. Walau telah terjadi hubungan perkawinan antara kelompok-kelompok uma yang tinggal di lembah sungai yang sama, akan tetapi kesatuan-kesatuan politik tidak pernah terbentuk karena peristiwa ini.
 
        Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa dalam uma memunyai kedudukan yang sama kecuali sikerei (dukun) yang memunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara keagamaan.
 
        Di sebagian tempat Kepulauan Mentawai, pengaruh modern membawa perubahan besar dalam kebudayaan tradisional, tetapi kebudayaan rumah panjang (uma) masih dapat ditemukan di daerah Siberut, pulau terbesar di antara gugusan pulau tersebut. Satu uma terdiri dari beberapa keluarga. Di dalam rumah panjang tersebut mereka membentuk satuan sosial terpisah yang juga disebut uma yang menjadi dasar kelompok bangunan masyarakat Mentawai. Hubungan antartetangga uma menjadi tidak jelas. Setiap uma menjadi milik dari salah satu dari banyak marga yang tersebar di antara pulau-pulau dan istri harus dicari dari marga lain dan lebih baik berasal adri uma luar daerah. Persekutuan terjadi akibat hal ini, tetapi hubungan baik antar tetangga uma secara terus-menerus diganggu oleh persaingan dan kecurigaan yang mengancam perdamaian dan sering membawa ke arah kekerasan.
 
Uma di pedalaman
 
        Secara tradisional uma memunyai wewenang tertinggi di Siberut. Selama pemerintahan Orde Baru fungsi organisasi sosial uma kurang begitu berfungsi tetapi sejak era Reformasi uma mulai digalakkan kembali dibeberapa desa dengan dibentuknya Dewan Adat. Sejak otonomi daerah bergulir direncanakan satuan pemerintah terendah yaitu laggai.
 
6.       Budaya Tradisional
        Menurut agama tradisional Mentawai (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam memunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisahkan dari tubuh dan bergentayangan dengan bebas. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dipelihara, maka roh akan pergi dan dapat menyebabkan penyakit. Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kegiatan keseharian yang tidak sesuai dengan adat dan kepercayaan maka dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam.
 
 
Anggota suku Sakuddei mengadakan upacara.
 
        Upacara agama yang dikenal dengan sebagai punen, puliaijat atau lia harus dilakukan bersamaan dengan aktivitas manusia sehingga dapat mengurangi gangguan. Upacara dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Roh makhluk yang masih hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian yang banyak disediakan oleh anggota suku. Rumah adat uma dihiasi, daging babi disajikan dan diadakan tarian (turuk) untuk menyenangkan roh sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama diadakan acara, sistem tabu atau pantangan (kekei) harus dijalankan dan terjadi pula berbagai pantangan terhadap berbagai aktivitas keseharian.
 
        Kepercayaan tradisional dan khususnya tabu inilah yang menjadi kontrol sosial penduduk dan mengatur pemanfaatan hutan secara arif dan bijaksana dalam ribuan tahun. Bagaimana pun, sekarang kebudayaan tersebut berangsur hilang. Populasi penduduk tumbuh dengan cepat dan sumber daya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan peraturan tradisional sehingga berdampak menurunya daya dukung lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Mentawai. Dalam melakukan kegiatan berburu, pembuatan sampan, merambah atau membuka lahan untuk ladang atau membangun sebuah uma, maka biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota uma dan pembagian kerja dibagi atas jenis kelamin. Setiap keluarga dalam satu uma membawa makanan (ayam, sagu, dll.) yang kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota uma setelah selesai melaksanakan kegiatan atau upacara.
 
        Makanan pokok masyarakat di Siberut adalah sagu, pisang, dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu, dan jamur diramu dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusa, monyet, dan burung diperoleh dengan berburu menggunakan panah dan ikan dipancing dari kolam atau sungai.

Kamis, 06 Januari 2011

Kepercayaan Orang Mentawai


Mayoritas orang mentawai memeluk agama Protestan, dan sebagian beragama Katolik, Islam atau Bahai. Walaupun demikian sebagian besar orang Mentawai tetap memegang teguh religinya yang asli, ialah Arat Bulungan. Arat berarti “adat” dan bulungan berasal dari kata bulu (= daun).
Dalam religinya, bukan hanya manusia yang mempunyai jiwa, tetapi juga hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, air terjun sampai pelangi, dan juga kerangka suatu benda. Selain dari jiwa, ada berbagai macam roh yang menempati seluruh alam semesta, yakni di laut, udara, dan hutan belantara.
Menurut keyakinan orang Mentawai, jiwa manusia atau magere terletak di ubun-ubun kapala. Jiwa itu suka berpetualang di luar jasmani saat orangnya tidur, yang merupakan mimpinya.
Bila jiwa keluar dari tubuh bisa terjadi bahwa jiwa itu bertemu dengan ruh jahat. Akibatnya tubuh akan sakit, dan bila jiwa dalam keadaan itu mencari perlindungan pada ruh nenek-moyang, maka tubuh mungkin akan meninggal. Jiwa tak akan kembali lagi ke tubuh dan menjadi ketsat (ruh).
Tubuh orang yang telah ditinggalkan magere atau jiwanya menjadi ketsat atau ruh, atau dengan lain kata, orang tersebut telah meninggal. Tubuh yang ditinggalkan berwujud daging dan tulang itu dianggap masih ada jiwanya, yang disebut pitok. Pitok inilah yang amat ditakuti oleh manusia, karena substansi itu akan berupaya mencari tubuh manusia lain, agar bisa tetap berada di dunia yang fana ini. Untuk menghindarinya pitok ini diusir dari rumah orang yang meninggal maupun dari uma dengan upacara karena di tempat itu pitok itu juga bisa bersembunyi mencari mangsanya.
Seperti dalam banyak sistem religi di dunia, religi asli orang Mentawai juga mempunyai masa nyepi, atau menghentikan aktivitas hidup untuk sementara, yatu masa lia dan punen yang dianggap suci. Lia adalah menghentikan aktivitas hidup dalam rangka keluarga inti, dan biasanya menyangkut masa-masa yang penting sepanjang hidup, seperti membangun lalep, atau rumah tangga inti, kelahiran, perkawinan, masa ada anggota keluarga sakit, kematian, dan membuat perahu. Punen adalah nyepi dalam rangka masyarakat dewa sebagai keseluruhan dan biasanya menyangkut masa sebelum dan sesudah membangun uma, kecelakaan, saat berjangkitnya wabah penyakit menular, dan pada waktu terjadi kecelakaan atau karena pembunuhan, yang mengakibatkan banyak orang mati.
Apabila anggota suatu keluarga menjalankan lia atau punen, mereka tak boleh bekerja. Bahkan seperti telah tersebut di atas, kalau pada masa lia atau punen terjadi kematian, jenazah tak boleh diurus dulu tetapi dibiarkan saja dan hanya ditutup daun.
Walaupun semua aktivitas berhenti, untuk waktu yang lama kadang-kadang sampai berminggu-minggu, orang diperbolehkan makan dan minum seperti biasa. Karena itu lia dan punen itu tidak merupakan puasa.
Punen yang berlangsung lama adalah punen untuk pengukuhan rimata dan sikere, yaitu pemimpin dan dukun. Upacara yang menyertai punen bisa berlangsung sekitar dua bulan.
Erat kaitannya dengan konsep lia dan punen adalah konsep pantangan atau keikei, yaitu melanggar pantangan, terutama dalam masa-masa yang suci (atau dalam rangka upacara-upacara yang suci) dan pelanggarannya akan dihukum dengan hukuman gaib. Hukuman gaib itu harus dihilangkan dengan denda-adat atau tulon tersebut di atas.

Untuk menempatkan benda-benda baru ke dalam uma, harus diadakan upacara terlebih dahulu, dan benda baru tersebut harus diletakkan di samping benda yang lama. Tujuannya adalah agar supaya bajou dari benda yang lama tidak marah dan agar “mereka” dapat berkenalan. Tanpa upacara akan terjadi sesuatu di dalam uma yang bersangkutan. Begitu juga dengan kedatangan orang dari kelompok kerabat lain ke dalam uma, seperti misalnya dalam perkawinan, disertai upacara yang gunanya untuk menetralisir pengaruh bajou. Bajou dapat membawa penyakit panas dan demam, karena itu benda-benda yang ada di dalam uma harus diperciki air yang bermantera.

               Benda-benda Perantara Antara Dunia Gaib dan Nyata
Serupa dengan di semua sistem kepercayaan atau religi lokal di dunia, arat sabulungan orang Mentawai juga mengenal ilmu gaib yang berdasarkan dua keyakinan, ialah (1) keyakinan akan adanya hubungan gaib antara hal-hal yang walaupun berbeda fungsinya, mirip wujud, warna, sebutan atau bunyinya; dan (2) keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang sakti tetapi tak berkemauan atau bajou dalam alam sekitar manusia.

             Baik segala macam ilmu gaib produktif yang merupakan bagian dari upacara kesuburan tanah misalnya, atau ilmu gaib protektif yang juga sangat penting dalam ilmu obat-obatan dan penyembuhan penyakit secara tradisional, maupun segala macam ilmu gaib destruktif yang antara lain dipergunakan dalam ilmu sihir dan guna-guna, semuanya bisa dikembalikan kepada kedua keyakinan tersebut di atas. Ilmu gaib produktif dan protektif yang biasanya merupakan ilmu gaib putih atau baik, dilakukan oleh sikerei, sedang ilmu gaib destruktif yang biasanya merupakan ilmu gaib hitam atau jahat dilakukan oleh pananae. Seperti juga dalam banyak sistem kepercayaan dan religi lokal di dunia, kekuatan sakti yang tak berkemauan (bajou), dalam sistem kepercayaan orang Mentawai juga dianggap beradal dalam segala hal yang luar biasa dan dalam benda-benda keramat, serta dalam uma (sebagai rumah umum yang keramat). Benda-benda itu, yang seperti telah tersebut di atas adalah amat simagere, batu kerebau buluat, orat simagere, dan tudukut, serta dapat ditambah lagi dengan sejumlah daun-daunan dan akar-akar kering dari tumbuh-tumbuhan berkhasiat yang disebut bakkat katsaila, berfungsi sebagai jimat (tae) penolak bahaya gaib atau sebagai benda untuk mengundang ruh yang baik.